Apakah Zulkiflimansyah Berhasil Sebagai Seorang Gubernur?

Apakah Zulkiflimansyah Berhasil Sebagai Seorang Gubernur?
Foto: Dr. Adhar Hakim, SH., MH., 


 

Oleh : Dr. Adhar Hakim, SH., MH., 

(Juru Bicara Pasangan Iqbal-Dinda)


Mataram,(Beritantb.com) - Dalam berbagai ruang diskusi saat perlehatan Pilgub NTB kali ini, seperti juga kontestasi sebelumnya, dua kubu akan bertarung, baik soal positioning mereka, atau gagasan mereka. Adalah hal yang wajar jika incumbent tentu mengklaim sebagai pihak yang paling berpengalaman dan telah berhasil, sedangkan dikubu lain sebagai penantang, menawarkan gagasan baru sebagai antitesis klaim keberhasilan incumbent. Tinggal bagaimana publik harus diberikan data komperasi agar klaim dan pengakuan serta gagasan baru bisa dibaca secara obyektif. 


Dari sisi ini akan dapat dilihat apakah seseorang yang pernah menjabat sebagai kepala daerah identik dengan seorang yang berpengalaman sebagai kepala daerah atau tidak, sekaligus apakah figur yang menawarkan gagasannya tidak memiliki kapasitan sebagai kepala daerah. 


Seorang gubernur sejatinya memiliki dua posisi sekaligus ; sebagai kepala daerah yang memimpin pemerintahan, dan juga sebagai pimpinan politik di daerah tersebut. Dua posisi ini idealnya dilaksanakan secara berimbang. Sebagai kepala pemerintahan, seorang gubernur harus mampu memimpin pemerintahan lokal sebagai alat kesejahteraan, dan sebagai pimpinan politik gubernur harus mampu menjalankan janji-janji politiknya secara bertanggung jawab. Namun seringkali dan terasa sangat mengganggu, banyak gubernur yang gagal menjelaskan kapan dia memimpin sebagai seorang kepala daerah sekaligus kepala pemerintahan, dan kapan dia sebagai seorang politisi. Kebanyakan yang terlihat adalah posisinya sebagai pejabat politik, baik dari cara berinteraksi, program-programnya, pendekatan penataan birokrasi hingga ukuran pencapaian yang ia tawarkan kepada publik. 


Di Provinsi NTB hal-hal terkait begitu menonjolnya performa pejabat politik dari seorang gubernur juga sangat terasa. Kita bisa mengukur secara obyektif apakah lima tahun kepemimpinan Zulkifliansyah, apakah positioning sebagai pejabat politik lebih menonjol dari pada posisinya sebagai kepala pemerintahan. Hal ini bisa kita lihat dari isu-isu krusial dalam lima tahun kepemimpinan Zulkiflimansyah. Kita bisa melihat sejumlah isu krusial sudah menunggu di depan mata, antara lain kondisi birokrasi yang tidak baik-baik saja, isu belanja anggaran pembangunan dalam APBD NTB yang jauh dari kata tertib, hingga perlehatan program pembangunan nasional di NTB. Isu ini belum termasuk persoalan mendasar bagi NTB yakni isu kemiskinan, dan kesalahannya memilih ide program industrialisasi yang salah kaprah. 


Seorang gubernur mestinya memiliki kesadaran, bahwa apapun visi dan misi yang akan ditawarkannya, titik pusat beban pelaksana atau eksekutornya ada di tangan birokrasi. Karena itu, bagaimana seorang gubernur memperlakukan birokrasi sebenarnya bisa dilihat sebagai sebuah ukuran bagaimana keseriusannya menjalankan visi dan misinya. Birokrasi dalam skema pemerintahan daerah adalah entitas pelayanan paling utama, karena hampir semua bentuk pelayanan publik ada di daerah. Karena itu dibutuhkan birokrasi yang sehat secara struktur dan kuat dalam kinerja. 


Dalam masa kepemimpinan Zul-Rohmi birokrasi terjebak dalam praktek tata kelola yang buruk. Bayangkan, dalam masa lima tahun kepemimpinan Zul-Rohmi, proses mutasi dilaksanakan sedikitnya 40 kali. Artinya ada delapan hingga sembilan kali mutasi setiap tahun. Secara stryktur, kultur dan psikologi birokrasi hal ini tidak baik. Mutasi yang sering seperti itu tidak dapat meningkatkan kinerja, tetapi sebaliknya sangat mengganggu kinerja birokrasi. Jika dibandingkan dengan kepemimpinan Gubernur NTB sebelumnya yakni TGB, mutasi dalam 10 tahun kepemimpinan TGB hanya 37 kali, yakni 20 kali dalam periode pertama, dan hanya 17 kali dalam periode kedua. 


Apa akibat kurang bagusnya perlakukan Zulkiflimansyah kepada birokrat? Tidak efektifnya kinerja birokrasi saat kepemimpinan Zulkiflimansyah bisa terlihat dalam kemampuan birokrasi Pemprov NTB dalam mengatasi kemiskinan. Saat pertama kepemimpinan TGB tahun 2008 angka kemiskinan bertengger pada angka 23,81%. Angka ini mampu ditekan saat TGB mengakhiri masa kepemimpinannya tahun 2018 pada angka 14,63% atau turun 9,18% atau rata-rata turun 0,918% setiap tahun, atau turun 4,59% setiap lima tahun. Bandingkan dengan kinerja birokrasi Zul-Rohmi yang saat megakhiri masa jabatannya angka kemiskinan 13,85% dari angka kemiskinan saat pertama menjabat yakni 14,63%. Artinya rata-rata pertahun hanya mampu turun 0,156%. 


Kita lihat lagi contoh lain buruknya performa birokrasi di mansa Zulkiflimansyah. Tidak efektfnya kinerja birokrasi Jul-Rohmi juga terlihat dari kemampuan birokrasi dalam menyelesaikan proyek. Berdasarkan data E-Monev Provinsi NTB, dari 82 proyek strategis tahun 2023, sampai menjelang akhir tahun ini atau memasuki Triwulan IV (Oktober) anggara, masih tersisa 41 proyek yang belum dikerjakan. Dari angka 41 proyek itu, 30 proyek belum mengajukan tender dan 11 baru selesai tender. Tentu hal ini akan mengancam serapan belanja anggaran dan capaian sasaran pembangunan. 



Tentu saja buruknya orkestrasi di sektor birokrasi ini juga terekam dalam kendali belanja APBD NTB. Tahun 2022 memang menembus angka Rp 2,28 Trilyun. Tetapi angka ini masih didominasi pendapatan transfer yang menca[ap 56,28%. Dan PAD hanya 43,11%. Hal ini belum termasuk curat marut belanja APBD NTB. Misalnya soal utang Pemprov NTB ke rekanan yang per Mei 2023 masih tercatat sekitar Rp 223 Miliar yang tersebar di 10 OPD. Lalu bagaimana dengan isu transparansi dan anti korupsi? Sami mawon. Dua kepala dinas yakni Kepala Dinas ESDM dan kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan dalam lima tahun ini harus masuk penjara. Hal ini belum termasuk pola penetapan pejabat yang lebih banyak beraroma kepentingan poitik dan isu nepotisme. 



Bagaimana soal program dalam visi dan misi Zulkiflimansyah? Pilihannya untuk melaksanakan program pembiayaan bea siswa bagi mahasiswa ke luar negeri adalah wujud kurang fahamnya Zulkiflimansyah terhadap nomenklatur pembiayaan pembangunan serta kewenangan gubenur dalam sektor pendidikan. Baik UU Sisdiknas maupun UU Perguruan Tinggi sebenarnya sudah menggariskan di mana tugas seorang gubernur dalam menata pendidikan. Lalu isu industrialisasi? Sama saja. Tak peru terlalu jauh menjelaskan hal ini, cukup dijawab dengan sebuah pertanyaan, cerita manakah yang dapat menjelaskan keberhasilan industrialisasi yang ditawarkan Zulkiflimansyah sekaligus legacy dari Zulkiflimansyah? Nelayan, petani, dan buruh di NTB membutuhkan alat-alat tangkap, alat pertanian sebagai alat bantu kerja mereka. Tentu bukan motor listrik. Isu strategis NTB masih diseputaran isu kemiskinan di sektor pertanian, nelayan dan buruh atau tenaga kerja. Fakta ini juga dapat digambarkan sebagai sebuah titik ideal untuk melihat bahwa seseorang yang tampil sebagai calon kandidat baru jika memang memiliki pemahaman yang baik tentang isu-isu strategis ini maka figur tersebut bisa diberikan ruang menyampaikan gagasannya. 


Nah, kita bisa mengukur secara obyektif, apakah Zulkiflimansyah lebih dominan memainkan perannya sebagai kepala pemerintahan yang juga sebagai kepala daerah, atau hanya sebagai pimpinan politik yang lebih mengutamakan pendekatan politis? Jawaban obyektifnya ada di diri pembaca. Dari sisi ini akan dapat dilihat apakah seseorang yang pernah menjabat sebagai kepala daerah identik dengan seorang yang berpengalaman sebagai kepala daerah atau tidak karena figur tsersebut hanya berpengalaman sebagai pejabat politik, sekaligus apakah figur yang menawarkan gagasannya tidak memiliki kapasitan sebagai kepala daerah. (Red).









Iklan