Soroti Persoalan Pantai Tanjung Bias, Ekadana: Pemkab Lombok Barat harusnya Malu

 

Soroti Persoalan Pantai Tanjung Bias, Ekadana: Pemkab Lombok Barat harusnya Malu
Pengacara senior I Gusti Putu Ekadana

Mataram,(Beritantb.com) - Reaksi tegas Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Lombok Barat atas dugaan praktik pungutan liar (Pungli) di Pantai Tanjung Bias, Desa Senteluk, Kecamatan Batulayar, Lombok Barat, memantik atensi I Gusti Putu Ekadana.


Pengacara senior ini mengingatkan, agar Pemerintah dalam hal ini, Pj Bupati Lombok Barat tidak lemot dan segera merespon rencana Dinas PUTR untuk membentuk tim khusus menindaklanjuti persoalan Pantai Tanjung Bias.


Karena menurutnya, dugaan pungli terhadap lapak dan kafe, memberikan preseden buruk terhadap iklim pariwisata Lombok Barat. Hal ini juga menandakan kondisi Pantai Tanjung Bias darurat untuk kepentingan investasi.


"Pertanyaannya, boleh nggak dibangun lapak kafe di roy pantai. Kalau nggak boleh ya nggak boleh, mau kepala desa, ormas atau pihak manapun. Harus tertib, kalau mau indah. Apalagi kalau sudah ada dugaan pungut-memungut setoran," tegas Ekadana pekan kemarin.


Kawasan Pantai Tanjung Bias dibagi menjadi dua bagian. Yaitu Tanjung Bias I dan Tanjung Bias II. Tahun 2021 lalu, lanjut Ekadana, BUMDes beserta Pemdes Senteluk, Camat Batulayar, serta kementerian terkait digugat oleh pemilik lahan, Ala Robin Sugih Muti Ningsih.


Gugatan tersebut dilatarbelakangi rasa kekecewaan serta pihak Ala Robin Sugih Muti Ningsih tidak terima, tanahnya di Tanjung Bias II diduga dikelola hingga ada indikasi sewa menyewa lahan tanpa izin. 


Ekadana pun menilai, kasus tersebut seharusnya menjadi tamparan bagi Pemkab Lombok Barat. Dugaan pungli ini tidak hanya terjadi di Pantai Tanjung Bias. Hal yang sama juga terjadi di sepanjang kawasan pantai di wilayah Sekotong. Ujungnya-ujungnya, yang menagih setoran adalah oknum pemerintah desa.


"Gugatannya terkait perbuatan melawan hukum. Seharusnya Pemkab Lombok Barat, dan Pemprov NTB, malu dengan adanya gugatan Ala Robin," timpalnya.


Terpisah, Ketua BUMDes Senteluk, Munajab, membenarkan adanya gugatan dari pihak Ala Robin. Saat ini kasusnya masih berproses dan ditahap kasasi di Mahkamah Agung (MA). 


"Kita masih tunggu hasilnya. Nanti ketika hasil kasasinya, Ala Robin yang diputuskan hakim, tentu lapak-lapak di sana kerja samanya dengan Ibu Ala Robin. Ketika milik negara, maka lapak di sana berurusan dengan pemerintah," ungkapnya. 


Ia pun membantah soal dugaan pungli sebesar 20 persen sampai 25 persen dari nilai transaksi jual beli lapak. Ia pun sudah memanggil jajarannya untuk mengklarifikasi dugaan tersebut. 


"Jadi saya kaget mendengar berita itu. Saya juga sudah breafing jajaran saya tadi pagi, dan semua memang tidak melakukan hal yang seperti itu," bantahnya, Senin (12/08).


Kendati demikian, ia membenarkan adanya pungutan sebesar Rp 500 ribu sampai Rp. 1 juta per lapak setiap bulannya, sebagai bagian dari retribusi pemilik lapak dan Kafe. Itu pun sudah diatur di dalam peraturan desa dan diberlakukan dari tahun 2018.


Namun setelah ia mulai menjabat ketua BUMDes tahun 2020, nilai pungutan yang tercantum dalam aturan itu kemudian disesuaikan dengan kondisi lapak dan kafe yang saat itu, tengah dilanda Pandemi Covid 19. 


"Jadi aturannya berlaku dari sebelum saya menjadi ketuanya. Sekarang retribusi sampah, lampu jalan karena ada dua KWh meter di sana. Ada yang hanya Rp 150, bahkan kita juga sesekali tidak menerima retribusinya akibat sepi," ulasnya.


Ia tidak menepis bahwa keberadaan lapak dan kafe di Pantai Senteluk, masuk roy pantai (Resapan). Sehingga pihaknya legowo ketika sewaktu-waktu Pemkab Lombok Barat melakukan penertiban melalui OPD terkait, demi kepentingan negara dan daerah.


Hal ini sesuai dengan pakta integritas yang dibuat pemerintah desa. Ketika pemerintah daerah membutuhkan Roy pantai, maka pemilik lapak dan kafe harus dengan sukarela untuk pindah atau direlokasi.


"Apa yang disampaikan PUTR, tentu kami akan sangat taat dengan aturan. Namun kami juga berharap ini bisa dilihat dari tumbuhnya ekonomi masyarakat. Ketika ini direlokasi tidak menghilangkan pekerjaan pedagang," harapnya.


"Karena sampai hari ini, dari Dinas Pariwisata Lombok Barat, serta kementerian pariwisata sudah mensupport Tanjung Bias sebagai wisata kuliner," jelasnya.


Soal tumpang tindih perdes Senteluk dengan Perda Lombok Barat tentang pengelolaan roy Pantai Tanjung Bias, ia menyerahkan sepenuhnya ke Pemerintah Desa Senteluk. BUMDes hanya sebagai pelaksana perdes.


Dikonfirmasi media ini, Plt. Kepala Desa Senteluk, Muh. Sajidin mengaku, belum mempelajari secara utuh Perdes Senteluk terkait pengelolaan Pantai Tanjung Bias. Dengan dalih, karena baru menjabat Desember tahun kemarin.


"Saya nggak hafal isi perdes. Karena saya baru dan yang lama nggak pernah ngomong," singkatnya.(Red).

Iklan