Tradisi Mbolo Weki Mbojo Diterpakan Juga Di Pulau Moyo Sumbawa

 

Tradisi Mbolo Weki Mbojo Diterpakan Juga Di Pulau Moyo Sumbawa
Tradisi Mbolo Weki Mbojo Diterpakan Juga Di Pulau Moyo Sumbawa 

Mataram- Selama tiga hari, 12 s/d 14 Oktober 2023,  saya mewakili Dewan Kebudayaan Daerah Nusa Tenggara Barat, selaku Tim Penilai Evaluasi Kinerja Kepala Sekolah SMA/SMK/SLB. Inti semacam wahana diskusi, sekaligus ‘curhat’ saling berbagi informasi program kerja dan inovasi antar kepala sekolah untuk meningkatkan mutu pendidikan bagi peserta didik. Saya menelisik dari sudut pandang sosial budaya yang punya tali-temali, saling mendukung dan melengkapi dalam proses pendidikan.


Kepsek SMKN 1 Pulau Moyo, Junaidi, mengatakan, sekolah itu didirikan tahun 2018, dengan Kompetensi Keahlian Perhotelan, berlokasi di sebuah bukit, Desa Sebotok, timur Amanuana Resort,  dikeliling ladang garapan penduduk. 


Desa itu hanya ditempuh melalui laut dengan kapal motor beberajam (bisa) melalui Pelabuhan Badas, Sumbawa. Fasilitas penunjang sekolah terbatas, lalu prilaku sumber daya manusia tenaga didik yang cenderung kurang menopang kinerja dan produktivitas kerja, dan prilaku warga yang dengan tradisinya yang terkesan kurang sejalan dengan kebiasaan berhemat. 


Menurut Junaidi, aliran listrik hanya malam hari, pekerjaan administrasi dilakukan para di rumahnya masing-masing, kemudian jaringan internet lemah, bahkan para para guru dan siswa harus membawa laptop mencari lokasi tepat (dekat parabola penangkap sinyal) demi mendapat sinyal kuat. Seputar dermaga adalah pilihan utama karena disitu sinyal lumayan kuat. Disitu mereka nongkrong, mancing dan menunggu pesan watsapp masuk yang berkaitan dengan tugas dan pekerjaannya.


"Penduduk desa itu umumnya berladang, termasuk para guru, yang sepulang mengajar disibukkan menggarap lahan. “Kalau pulang ngajar, ambil parang dan sabit langsung ke ladang,” ujar Junaidi. Selasa, 17/01/2024.


Pada musim tanam-petik di ladang, para siswanya tidak masuk sekolah membantu orangtuanya bekerja. Kalau pun (guru dan siswa) minta izin, durasinya bukan satu-dua hari, melainkan minimal seminggu. Keterlibatan anak sebagai pekerja, untuk efektivitas dan efisiensi, karena pemilik lahan sudah meminjam uang untuk aktivitas proses produksi.


Salah satu tantangan terbesar di sana adalah pelaksanaan tradisi dan adat istiadat, yaitu tradisi Mbolo Weki - tradisi masyarakat Mbojo (Bima dan Dompu) yang ikut bermukim di pulau itu. Mbolo Weki (mbolo = bundar =melingkar, dan weki = keluarga /sanak-saudara), atau duduk melingkar yang kalau disederhanakan adalah forum musyawarah untuk mencapai mufakat.


Mereka berembuk, menyiapkan acara pernikahan, acara maulid dan hajatan lain, termasuk membicarakan besaran yang disumbangkan kepada si empunya hajat. Dalam acara ini terkandung nilai kebersamaan, solidaritas, gotong-royong, silaturrahmi dengan sesama warga desa yang terdiri atas etnis Samawa (Sumbawa). Biasanya sumbangan beragam jenis bahan logistis termasuk uang itu disimpan dalam wadah, dikumpulkan lalu oleh petugas diumumkan secara rinci isinya. Karena diumumkan kepada ‘majelis’, tiap warga pun, misalnya Si A merogoh koceknya dalam-dalam, agar tidak malu kepada publik,  juga besaran kontribusinya  akan dibalas setara oleh si empunya hajat, katakanlah Si B.


Dalam konteks dengan itu, Irfansyah Masri, secara tersirat mengingatkan Mbolo Weki kembali ke khittah. Ini  mengingat ada perubahan orientasi, Mbolo Weki yang awalnya adalah budaya kasama weki (kebersamaan, solidaritas dan kekeluargaan), yang bertujuan sebagai balas budi dengan dasar sukarela, justru ada kesalah-fahaman, mengarah pada pembebanan materi: uang, beras dan  barang natura lainnya. Karenanya di satu pihak budaya positif perlu dipertahankan, namun kesalahfahaman itu perlu diluruskan agar Mbolo Weki sesuai dengan tujuannya semula: merajut bersamaan dan kekeluargaaan. (‘Tradisi Mbolo Weki Mengupas orientasi Tradisi Mbolo Weki dalam Masyarakat Bima dan Dompu Senin, 17 Agustus 2020. https://www.indonesiana.id/read/142074/tradisi-mbolo-weki. Senin 17 Agustus 2020, diunduh Selasa 17 Oktober 2023).


Gambaran itu tampaknya sejalan pendapat pakar sosiologi politik, Mc Iver, (dalam makalah Pembangunan Berbasis Nilai oleh Paulus Wirutomo), bahwa” manusia adalah mahluk yang dijerat oleh jaring-jaring yang dirajutnya sendiri”. Jaring-jaring itu adalah  kebudayaan, yang diciptakan masyarakat, namun pada gilirannya jadi kekuatan yang mengatur bahkan memaksa manusia melakukan tindakan dengan ‘pola tertentu’ di antaranya lewat nilai kebersamaan dan kekeluargaan. 


Begitulah Junaidi yang seakan memberi pesan, bahwa perlu semangat mengabdi di tengah keterbatasan fasilitas penunjang, juga harus beradaptasi dan mencoba memahami kondisi sosial budaya masyarakat dan lingkungannya, untuk lambat-laun dijadikan ‘energi’ membangun dunia pendidikan. (erul arantiang).

Iklan