Abdurrahman Mahasiswa jurusan Adminitrasi Publik, Fakultas Fisipol Universitas Widya Mataram Yogyakarta. |
Oleh: Abdurrahman
(Presiden Mahasiswa Univerisitas Widya Mataram Yogyakarta Periode 2022-2023 dan periode sekarang 2023-2024.)
Saudara-saudaraku sekalian, mulai sekarang kita harus membuka akal sehat kita. Bagaimana mungkin mereka para caleg ataupun calon presiden menghina kita semua dalam lima tahun sekali dengan memberi "sumbangan" yang tertempel dengan muka-muka mereka yang sangat jelek sekali.
Rakyat selalu dihina dengan perilaku mereka yang memberi "sembako gratis". Mereka pikir dengan pemberian mereka kebutuhan rakyat akan tercukupi selama lima tahun yang akan datang. setelah itu rakyat dipaksa memilih calon dari mereka dengan dalil bahwa telah diberi sumbangan. Mereka memperlakukan rakyat seperti barang dagangan yang bisa diperjual belikan dengan harga yang murah "sembako".
Kita bisa bayangkan bagaimana mereka memetakan rakyat yang memang tidak mampu dan hidup di pemukiman yang kumuh untuk mereka eksploitasi dengan dalil memberi bantuan. Kita bayangkan selama mereka menjabat apa yang mereka lakukan untuk orang-orang yang tinggal dipemukiman yang kumuh? Apa mereka mendatangi mereka setelah pemilihan selesai? Atau setelah mereka menang dalam merebut kekuasaan?
Saya melihat masyarakat yang di tinggal di pemukiman yang kumuh ini memang sengaja dirawat oleh para elit-elit politik atau pun pemerintah, agar mereka punya alasan dan bahan untuk melakukan kampanye setiap menjelang pemilu.
Rakyat menangis, elit politik tersenyum.
Beberapa hari ini aku sering sekali merenung, melihat kesenjangan yang begitu nyata terpampang di depan mata kita semua. Hampir di sepanjang jalan di seluruh indonesia mulai dari sabang sampai merauke, kita menyaksikan senyuman para calon-calon mengkrumuni pinggir jalan. Hampir semua baliho yang terpampang menunjukan seyuman dengan berpakaian rapi dan gagah. Ini sangat aneh sekali bagi saya, anda bayangkan mereka menebar senyum ditengah-tengah masyarakat yang menangis tanahnya dirampas, rumah-rumahnya digusur, dan kelaparan, serta kemiskinan yang meraja lela. Itu semua diakibatkan oleh para korporasi dan oligarki-oligarki.
Lalu apa yang mereka tulis dibaliho? Apakah benar itu hanyalah sebagai umpan untuk menipu rakyat atau mereka memang sengaja mengejek rakyat. Rakyat harus sadar sesadarnya bahwa para elit politik dan para caleg yang datang ditiap rumahnya dengan membawa semua peralatan media adalah sebuah kebohongan yang sangat sistematis.
Tidak ada rasa kemanusiaan dalam diri meraka, melainkan tentang brending media sosial, nyaris kita tidak menemukan para politikus maupun para calon tidak membawa tim medianya ketika melakukan blusukan di masyarakat.
Yang lebih parahnya lagi adalah mereka datang dengan berpakaian rapi dan tentu sangat nyaman kalau dipake. Dari sini juga kita bisa melihat bagaimana ketimpangan kelas yang terjadi di indonesia, mereka datang dengan kendaraan-kendaraan yang bagus penuh dengan pengamanan dan keamanan yang ketat pula. Menipu memanglah kebiasaan para politikus, kalau anda percaya siap-siap saja anda terjerumus dalam jurang.
Rakyat selalu jadi bahan legitimasi untuk mencapai kekuasaan.
Hampir semua caleg akan berbicara tentang mensejahterakan rakyat, dengan berbagai cara mereka meyakinkannya. Walapun apa yang mereka omongkan belom tentu mereka pahami. Tapi begitulah politik tidak harus memahami betul-betul yang terpenting adalah bagaimana memanipulasi dengan kata-kata yang bisa menyentuh hati para rakyat.
Pemilu membunuhmu
Sudah berapa juta korban yang dibunuh oleh pimilu, dan sudah berapa juta rakyat yang terlantar karena rumahnya digusur dan sudah berapa juta anak-anak yang tidak bisa bersekolah? Itu semua pertanyaan-tanyaan yang perlu kita renungkan bersama. Mereka bilang peduli pada rakyat tapi di bawah meja merekalah yang meminum darah rakyat. Pemilu begitu menyakitkan bagi rakyat, membuat batasan-batasan antara masyarakat satu dengan yang lain.
Bahkan yang lebih tragis lagi ketika pemilu 2019 yang lalu diketahui, berdasarkan data Kementerian Kesehatan melalui dinas kesehatan tiap provinsi mencatat petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang sakit sudah mencapai 11.239 orang dan korban meninggal 527 jiwa.
Begitupun juga berdasarkan siaran pers Kementerian Kesehatan yang diterima di Jakarta, Kamis (16/5/2019), seperti dikutip Antara, jumlah korban sakit dan meninggal tersebut hasil investigasi Kemenkes di 28 provinsi per tanggal 15 Mei 2019.
Tidak ada pemuli yang benar-benar jujur dan adil, melainkan penipuan serta kongkalingkong para elit kekuasaan. Hapir semua yang diumbar dalam media adalah manipulasi untuk menghegemoni rakyat agar rakyat percaya bahwa pemilu adalah jalan terbaik bagi demokrasi dalam memilih pemimpin.
Kita bisa melihat bagaimana kebohongan yang dimainkan para elit di pemilu lima tahun yang lalu, antara jokowi dan prabowo. Mereka berdua mempertontonkan pada rakyat kebencian dan kemarahan dalam debat maupun kampaye yang dilakukan para timsesnya tapi dibelakang mereka saling bersuap-suapan, dan kita bisa melihat bagaimana mereka berdua saat ini menjadi akur tanpa tidak terjadi apa-apa, dan rakyat yang menjadi korbannya karena sudah terpecah belah.
Bukan demokrasi kita.
Demorasi yang kita gaungkan bukanlah demokrasi, melain mesin kehancuran. Ada berapa banyak rakyat yang terpecah bela akibat demokrasi yang kita jalankan tiap lima tahun sekali, kita bisa melihat bagaimana demokrasi ini memecah bela rakyat, mulai dari pemilihan kepala desa sampai pemilihan presiden. Anda bisa bertengkar dengan tetanggamu karena beda pilihan, anda dengan keluargamu sendiri bisa tidak saling bicara karena beda pilihan dan bahkan anda akan menutup jalan yang biasa dilewati tetanggamu lantaran jalan yang dipake adalah milikmu.
Anda juga bisa membenci siapapun yang tidak satu pilihan denganmu bahkan anda akan menyumpahi mereka. Begitulah demokrasi yang dijalankan, lalu siapa yang salah atas semua itu? Rakyatnya atau para elit kekuasaan?.
Hasutan dan keterhasutan berbasis agama maupun etnis bukanlah produk alami atau langsung dari keberagaman masyarakat, melainkan suatu pertunjukan yang sengaja dibuat oleh wirausahawan politik dalam upaya meraih kekuasaan.
Demokrasi dalam pemilu juga menjadi gelanggang perjudian, bukan demokrasi yang kita cita-citakan dalam pancasila, dimana pertarungan nominal ini yang merajalela didemokrasi, sehingga pemilu yang dianggap sebagai ruang demokrasi dimana masyarakat bisa ikut terlibat dalam memilih pemimpinnya kini menjadi pertarungan kemenangan taruhan.
Kita semua harus sadar dengan itu dan sudah saatnya kita melakukan perubahan dengan menggalang suara oposisi, karena kekuatan oposisilah yang bisa menampar kegilaan para kekuasaan.
Menghidupkan oposisi permanen
Memilih jalan oposisi bukanlah hal yang mudah, iya harus bersiap megesampingkan kemapanan pribadi. Mengibahkan dirinya hanya untuk terus berjuang dan melawan atas ketidakadilan. Dalam menghidupkan gerakan oposisi kiranya kita perlu membagun kekuatan yang terorganisir dan ideologis dari orang-orang yang militan.
Kita bisa belajar mengapa gerakan Kiri di Indonesia, telah gagal semenjak kehadirannya di abad ke-20 hingga sekarang ini, tidak hanya pasca tragedi 1965, tetapi bahkan juga pasca tumbangnya Suharto untuk tidak menyebut hal-hal eksternal lain yang mestinya juga patut diperhitungkan. Dan diskusi mengenai insureksi Oktober 1917 tak sekalipun berhasil melampaui argumen-argumen standar tentang pemberontakan.
Tema sentral yang sesungguhnya patut juga dipertanyakan dan diperdebatkan bukanlah sekedar persoalan bagaimana sistem kapitalisme ini terus berjalan, melainkan juga kesalahan-kesalahan apa yang dilakukan oleh mereka yang mengaku dirinya sebagai bagian dari proletariat, yang melakukan tindak-tindak bersejarah. Mengkritisinya artinya berusaha untuk tidak terjerat ke dalam perangkap yang sama.
Menjadi oposisi tak harus seperti negara amerika latin ataupun apa. Menjadi oposisi adalah menjadi diri sendiri dengan berpakaian sendiri. Seperti ungkapan cak nur, menjadi islam tak harus menjadi orang arab. Begitulah oposisi yang harus kita bangun menjadi oposisi dengan tanah leluhur kita.